I. Pendahuluan
Alhamdulillah. Saya sudah berhasil mengerjakan tugas mata kuliah softskill “perekonomian Indonesia”. Postingan kali ini saya akan membahas tentang betapa kemiskinan sangat menghantui Indonesia dan ada perbedaan yang sangat jauh terhadap “si kaya” dan “si miskin”.
Saya akan membahas menurut sumber-sumber yang saya dapat. Dan disertai kesimpulan dari saya sendiri sebagai mahasiswa yang terus mencoba untuk belajar menjadi lebih baik.
Semoga postingan kali ini dapat bermanfaat bagi saya sebagai pemilik dan penulis blog, dan anda semua yang membacanya. Terima kasih.
II. Pembahasan
Kemiskinan adalah suatu keadaan dimana suatu keluarga atau sekelompok masyarakat, yang tidak mempunyai daya beli yang tinggi serta tidak sanggup memenuhi kebutuhan pokok mereka seperti pangan, sandang dan pangan.
Kemiskinan adalah masalah global. Artinya masalah yang sudah menjamur di seluruh dunia. Yang tentu saja masih terus diusahakan untuk diberantas sampai saat ini. Walaupun setahu saya, sudah bermacam-macam cara dikeluarkan pemerintah, dan tentu saja dengan dana yang tidak sedikit untuk menutupi masalah ini. Contoh paling pas adalah penggunaan pajak yang seharusnya digunakan untuk membangun daerah itu sendri dan membantu masyarakat miskin di daerahnya.
Tentu timbul pertanyaan, kenapa masyarakat miskin malah makin menjamur dan ada dimana-mana? Tentu ada sedikit sesuatu yang tidak beres. Entah dari sisi pemerintahan yang ”bandel” dengan tidak mempertanggung jawabkan uang pajak tersebut jadi tidak mendapat bantuan yang sepantasnya? Ataukah rakyat miskinnya yang sudah mendapatkan bantuan, tetapi tidak dapat memanfaatkan dengan baik?
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
· Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangansehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
· Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
· Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Kemiskinan digolongkan menjadi 2, yaitu :
- Kemiskinan absolut
- Kemiskinan relatif
Kemiskinan juga dipelajari oleh banyak ilmu, selain ekonomi, ternyata ada beberapa ilmu yang mempelajarinya, yaitu :
- Politik : Perlawanan terhadap kemiskinan biasanya dianggap sebagai tujuan sosial dan banyak pemerintahan telah berupaya mendirikan institusi atau departemen. Pekerjaan yang dilakukan oleh badan-badan ini kebanyakan terbatas hanya dalamsensus dan pengidentifikasian tingkat pendapatan di bawah di mana warga negara dianggap miskin.
- Hukum : Telah ada gerakan yang mencari pendirian "hak manusia" universal yang bertujuan untuk menghilangkan kemiskinan.
- Pendidikan : Kemiskinan mempengaruhi kemampuan murid untuk belajar secara efektif dalam sebuah lingkungan belajar. Terutama murid yang lebih kecil yang berasal dari keluarga miskin, kebutuhan dasar mereka seperti yang dijelaskan oleh Abraham Maslow dalam hirarki kebutuhan Maslow; kebutuhan akan keamanan dan rumah yang stabil, pakaian, dan jadwal makan yang teratur membayangi kemampuan murid-murid ini untuk belajar.
Banyak penyebab timbulnya kemiskinan. Diantaranya adalah pendidikan yang rendah, usia yang sudah sangat tua untuk bekerja, tidak mempunyai keahlian untuk dipekerjakan, dan lain-lain.
Ada juga yang beralasan bahwa mereka yang dulu bekerja, lalu terkena PHK, dan tidak mampu untuk bekerja kembali. Lalu ada juga yang berada pada usia dibawah umur, tapi sudah bekerja. Ini disebabkan oleh ketidakmampuan orang tua mereka untuk membiayai program ”wajib sekolah 9 tahun” mereka.
Tapi ada juga yang saat usia produktif, tapi tidak bekerja disebabkan oleh tidak mempunyai keahlian khusus ataupun kemampuan yang bisa dimanfaatkan. Tentu hal tersebut tak lepas dari rendahnya pendidikan yang dienyam oleh para pemuda tersebut. Dan ketidak mauan mereka untuk belajar sambil bekerja, tentu itu semua membuat mereka tidak menemukan pekerjaan yang pas untuk mereka.
Di Indonesia, kemiskinan merupakan salah satu masalah besar. Terutama meliahat kenyataan bahwa laju pengurangan jumlah orang miskin di tanah air berdasarkan garis kemiskinan yang berlaku jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu sejak Pelita I hingga 1997 (sebelum krisis eknomi). Berdasarkan fakta ini selalu muncul pertanyaan, apakah memang laju pertymbuhan yang tingii dapat mengurangi tingkat kemiskinan atau apakahmemang terdapat suatu korelasi negatif yang signifikan antara tingkat pertumbuhan dan presentase jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan?.
Kalau dilihat data dari Asia dalam sstudinya Dealolikar dkk. (2002), kelihatannya memang ada perbedaan dalam presentase perubahan kemiskinan antara kelompok negara dengan leju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kelompoknegara dengan pertumbuhan yang rendah. Seperti China selama tahun 1994-1996 pertumbuhan PDB riil rata-rata per tahun 10,5%, tingkat penurunan kemiskinan per kapita selama periode tersebut sekitar 15,5%, yakni dari 8,4% ke 6,0% dari jumlah populasinya. Sedangkan, misalnya Bangladesh dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun hanya 3,1% selama 1992-1996, tingkat penurunan kemiskinannya per kapita hanya 2,5%. Ada sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah walaupun ekonominya tumbuh positif.[5]
Seperti telah dibahas sebelumnya, banyak studi empiris yang memang membuktikan adanya suatu relasi trade off yang kuat antara laju pertumbuhan pendapatan dan tingkat kemiskinan, namun hubungan negatif tersebut tidak sistematis. Namun, dari beberapa studi empiris yang pernah dilakukan, pendekatan yang digunakan berbeda-beda dan batas kemiskinan yang dipakai beragam pula, sehingga hasil atau gambaran mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan juga berbeda.
1) Indikator Kesenjangan
Ada sejumlah cara untuk mrngukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering digunakan dalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yaitu the generalized entropy (GE), ukuran atkinson, dan koefisien gini. [2]
Yang paling sering dipakai adalah koefisien gini. Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan.
0
|
x
|
Kurva Lorenz
|
Kumulatif presentase dari populasi
Yang mempunyai pendapatan
|
Ide dasar dari perhitungan koefisien gini berasal dari kurva lorenz. Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati 1 atau semakin jauh kurva lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Ketimpangan dikatakan sangat tinggi apabilai nilai koefisien gini berkisar antara 0,71-1,0. Ketimpangan tinggi dengan nilai koefisien gini 0,5-0,7. Ketimpangan sedang dengan nilai gini antara 0,36-0,49, dan ketimpangan dikatakan rendah dengan koefisien gini antara 0,2-0,35.
Selain alat ukur diatas, cara pengukuran lainnya yang juga umum digunakan, terutama oleh Bank Dunia adalah dengan cara jumlah penduduk dikelompokkan menjadi tiga group : 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya, ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketidakmerataan sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah pendapatan. Sedangkan ketidakmerataan rendah, apabila kelompok tersebut menerima lebih besar dari 17% dari jumlah pendapatan.
2) Indikator Kemiskinan
Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.[3]
Dengan kata lain, BPS menggunakan 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index. Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan Head Count Index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah batas yang disebut garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan minimum makanan dan non makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari 2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non makanan (non food line).
Untuk mengukur kemiskinan terdapat 3 indikator yang diperkenalkan oleh Foster dkk (1984) yang sering digunakan dalam banyak studi empiris. Pertama, the incidence of proverty : presentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan, indeksnya sering disebut rasio H. Kedua, the dept of proverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan indeks jarak kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan sebutan proverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut yang dapat dijelaskan dengan formula sebagai berikut :[4]
Pa = (1 / n) ∑i [(z - yi) / z]a
Indeks Pa ini sensitif terhadap distribusi jika a >1. Bagian [(z - yi) / z] adalah perbedaan antara garis kemiskinan (z) dan tingkat pendapatan dari kelompok keluarga miskin (yi) dalam bentuk suatu presentase dari garis kemiskinan. Sedangkan bagian [(z - yi) / z]a adalah presentase eksponen dari besarnya pendapatan yang tekor, dan kalau dijumlahkan dari semua orang miskin dan dibagi dengan jumlah populasi (n) maka menghasilkan indeks Pa.
Ketiga, the severity of property yang diukur dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK). Indeks ini pada prinsipnya sama seperti IJK. Namun, selain mengukur jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, IKK juga mengukur ketimpangan di antara penduduk miskin atau penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Indeks ini yang juga disebut Distributionally Sensitive Index dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.
3) Penemuan Empiris
Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia pada umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur distrubusi pendapatan masyarakat. Walaupun diakui bahwa cara ini sebenarnya mempunyai suatu kelemahan yang serius, data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi yang tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya.
Akan tetapi, karena pengumpulan data pendapatan di Indonesia seperti di banyak LCDs lainnya masih relatif sulit, salah satunya karena banyak rumah tangga atau individu yang bekerja di sektor informal atau tidak menentu, maka penggunaan data pengeluaran konsumsi rumah tangga dianggap sebagai salah satu alternatif.
Menjelang pertengahan tahun 1997, beberapa saat sebelum krisis ekonomi muncul, ingkat pendapatan per kepala di Indonesia sedah melebihi 1000 dolas AS, dan tingkat ini jauh lebih tinggi. Namun, apa artinya kalau hanya 10% saja dari jumlah penduduk di tanah air yang menikmati 90% dari jumlah PN. Sedangkan, sisanya 80% hanya menikmati 10% dari PN. Atau kenaikan PN selama masa itu hanya dinikmati oleh kelompok 10% tersebut, sedangkan pendapatan dari kelompok masyarakat yang mewakili 90% dari jumlah penduduk tidak mengalami perbaikan yang berarti.
Boleh dikatakan bahwa baru sejak akhir 1970-an, Pemerintah Indonesia mulai memperlihatkan kesungguhan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejak itu aspek pemerataan dalam trilogi pembangunan semakin ditekankan dan ini didentifikasikan dalam delapan jalur pemerataan. Sudah banyak program-program dari pemerintah pusat hingga saat ini yang mencerminkan upaya tersebut, seperti program serta kebijkan yang mendukung pembangunan industri kecil, rumah tangga dan koperasi, Program Keluarga Sejahtera, Program KB, UMR, UMP, dan lain sebagainya.
Berikut adalah nilai rasio gini Indonesia menurut daerah perkotaan dan pedesaan mulai tahun 1990-1999.
Tahun
|
Perkotaan
|
Pedesaan
|
Nasional
|
1990
|
0,34
|
0,25
|
0,32
|
1993
|
0,33
|
0,26
|
0.34
|
1994
|
0,35
|
0,26
|
0,34
|
1995
|
0,35
|
0,27
|
0,35
|
1996
|
0,35
|
0,27
|
0,36
|
1997
|
0,35
|
0,26
|
0,37
|
1998
|
0,33
|
0,26
|
0,32
|
1999
|
0,34
|
0,26
|
0,33
|
Yang menarik dari data susenas tersebut adalah bahwa ternyata krisis ekonomi tidak membuat ketimpangan dalam distribusi pendapatan menjadi tambah parah, bahkan kelihatannya cenderung menurun. Dan angka Indeks Gini di pedesaan selalu lebih rendah dari pada di perkotaan.
III. Kesimpulan
Kesimpulan saya adalh bahwa kesenjangan pendapatan yang terlalu tinggi akan menyebabkan kemiskinan yang merajarela. Karena dengan jauhnya jarak pendapatan yang terjadi di sebuah Negara, akan menyebabkan “si miskin” susah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak untuk dirinya, dan pendidikan yang akan terlalu timpang dengan pendidikan anak “si kaya”.
Oleh karena itu, ada baiknya pendapatan “sedikit” diratakan, dengan cara membantu “si miskin” lewat pajak yang dilakukan kepada masyarakat. Karena mungkin, hanya lewat bantuan pajak rakyat kecil bisa “sedikit bersaing” dengan pendapatan “si kaya”.
IV. Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar